"Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain"

Sampaikan kebaikan walau satu ayat

Sampaikan kebaikan walau satu ayat

Senin, 16 Februari 2015

Jiwa yang Beriman

Tidak ada komentar :


Manusia, sebagai makhluk fisikal-biologis, makhluk sosial, intelektual-psikologis, dan spiritual-teologis, dapat dikatakan sejahtera hidupnya apabila apa yang menjadi kebutuhan jasmani dan ruhani terpenuhi secara seimbang. Ia sejahtera hidupnya jika segala kebutuhan bersifat fisik (materi), kebutuhan jiwa yang berupa kedamaian dan kesentosaan, dan kebutuhan spiritual yang berupa ketentraman hati (ithmin’nan al-qalb) tercapai dengan seimbang.
            Sebagai makhluk psikofisik, manusia dalam meraih kesejahteraan hidupnya, tidak hanya membutuhkan hal-hal yang bersifat materi, tetapi juga kebutuhan keimanan, kedamaian, kesentosaan dan keselamatan. Empat hal yang disebut terakhir dapat diraih dengan jalan melaksanakan ajaran Allah, baik yang terkait dengan jiwa ataupun hati (al-qalb).
            “Dapat dikatakan bahwa sebuah jiwa disebut beriman manakala hati individu yang bersangkutan telah dimasuki hal-hal yang berhubungan dengan dimensi keimanan, seperti Allah, malaikat, para nabi, kitab-kitab-Nya dan hari akhir. Apabila semuanya belum masuk kedalam hati, misalnya baru berada di wilayah jiwa, maka manusia yang bersangkutan belum beriman karena tempat iman ada di dalam hati.”
            Apalagi masalah-masalah tersebut baru wacana pemikiran yang masuk dalam ranah kognitif. Hal tersebut sejalan dengan maksud firman Allah dalam QS. Al-Hujurat (49): 12, yang artinya: ”orang-orang badui berkata,”kami telah beriman,” katakanlah kepada mereka “kamu belum beriman.” Tetapi katakanlah: “kami telah tunduk (berislam) karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.”
            Jadi, iman merupakan persoalan hati, bukan persoalan jiwa. Akan tetapi, hati telah beriman, dalam arti segala disebut pilar keimanan telah menjadi milik hati, maka jiwa yang berada diluar kontak hati (al-qalb) bisa juga disebut beriman, karena telah terpengaruh oleh kemilauannya sinar keimanan yang terdapat dalam kontak hati itu.
            “jiwa yang beriman adalah jiwa yang tidak cenderung kepada tindakan-tindakan zhalim (aniaya), karena pada dasarnya iman yang benar (al-iamn ash-shahih) tidak wajar dicampur dengan kezhaliman, karena kezhaliman tidak akan menyatu dengan iman, karena keimanan memiliki kecenderungan pada kebaikan, keadilan, kedamaian, keselamatan dan kepada penunaian hak-hak seperti diajarkan oleh agama (Tuhan Yang Maha Baik), sebagaimana diabadikan dalam al-qur’an dan hadis Rasulullah SAW.”
            Kezaliman yang terjadi dapat berupa: zali kepada Allah, zalim kepada sesama manusia, zalim kepada lingkungan dan zalim kepada diri sendiri. Manusia dapat dikatakan berbuat zalim kepada Allah apabila ia tidak menegakan hak-hak-Nya, yaitu tauhid, ibadah, dan bersyukur kepadanya.
            Seseorang dikatakn zalim terhadap sesama manusia apabila ia tidak menunaikan apa yang menjadi hak-hak mereka, manusia dipandang berbuat zalim kepada alam apabila hak-hak alam tidak direalisasikan, dan demikian pula seseorang dipandang zalim tehadap diri sendiri, apabila ia mengabaikan hak-haknya yang merupakan kewajibannya untuk ditunaikan bagi dirinya sendiri, misalnya jika seseorang sakit maka ia berhak memperoleh pengobatan. Sebab pengobatan merupakan kewajiban yang diupayakan, baik kepada dirinya maupun orang lain.
            Supaya jiwa yang briman semakin kokoh, maka seseorang yang memiliki wajib menghindarkan diri dari segala tindakan zalim dengan berbagai dimensinya tersebut. Sebaliknya, jiwa yang beriman harus menjadi sumber motivasi dan spirit yang kuat secra efektif untuk melahirkan secara nyata amal-amal shaleh, baik keshalehan spiritual maupun keshalihan sosial, baik bersifat individu maupun komunal.
            Jiwa yang beriman seharusnya melahirkan lebih banyak lagi tindakan-tindakan adil sebagai lawan dari tindakan-tindakan zalim. Perhatikan firman Allah, yang artinya:
”orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan keimanan mereka dengan kezaliman (utamanya syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kedamaian dan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (QS. Al-An’am (6): 82)
“Dengan kemikan jiwa yang beriman ialah jiwa yang memiiki sifat-sifat utama kepribadian yang mendorong pemiliknya memiliki semangat tinggi untuk mewujudkan hak-hak islam, yakni segala hak yang diajarkanislam, sehingga pemiliknya mendapat dan merasakan kehidupan yang aman dan damai serta keselamatan dari segala malapetaka, baik di dunia maupun di akherat.”
            Dalah sebuah hadis nabi SAW pernah menyatakan bahwa”para kalangan terhormat dari golongan umatku, tidak lah masuk surga disebabkan karena banyaknya shalat, dan juga karena bukan karena banyaknya puasa semata, tetapi mereka masuk surga, karena hati mereka yang bersih, jiwa yang pemurah, dan rasa kasih sayang mereka kepada kaum muslimin khususnya dan manusia umumnya”. Oleh karena itu, iman yang ada didalam hati haruslah menyinari jiwa, agar jiwa itu beriman dan selanjutnya mendorong manusia mukmin memacu diri untuk bersegera ampunan dari Tuhannya, dan bersegera pula meraih surga-Nya yang memang dipersiapkan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali Imran (3): 133)

Sumber : Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, M.A. 2011. Kepribadian Qur’ani. Jakarta: Imprint Bumi Aksara Hlm 55-60





Tidak ada komentar :

Posting Komentar